SELAMAT DATANG DI BLOG PEMUDA KEDUNG SEGOG

Kamis, 22 September 2011

Mungkin ini Balasan Atas Dosa-dosaku

Hidupku terasa pahit. Sebelum menikah dengan Noval (bukan nama sebenarnya), aku telah menikah dengan seorang pria, sebut saja namanya Narto (bukan nama sebenarnya). Pernikahan kami hanya berumur dua tahun, sebelum akhirnya Narto memergoki aku yang tengah berselingkuh dengan laki-laki lain. Buntut dari semua itu, Narto akhinrya memaksaku bercerai dan membawa serta anak semata wayangku. Maaf, aku tak mau bercerita terlalu banyak tentang masa laluku. Sampai sekarang aku masih terus mengingat dan menangisi anakku. Aku ingin berjumpa dan memeluknya.

Setelah jadi janda, aku kembali ke rumah orang tuaku. Berusaha menghibur diriku, dengan lebih mendekatkan diri pada Tuhan. Beberapa tahun lamanya aku memilih menjanda. Aku coba berusaha dengan membuka warung kecil-kecilan yang hasilnya hanya cukup untuk keperluan sehari-hari kami. Cap janda membuat aku tak enak hati, dan tak bisa bergaul dengan teman-teman seperti dulu. Teman-teman yang dulu jadi sahabatku, kurasakan menjauh dariku. Ah… mungkin mereka takut suami mereka melirikku, atau aku rebut. Padahal aku pernah bersumpah tak akan pernah menikah dengan pria beristri.

Namun sumpah itu akhirnya kulanggar, Narto laki-laki yang telah memiliki istri akhirnya menaklukan sumpahku Lingkungan rumahku yang padat membuat gosip tentang aku begitu ramai. Bahkan tiap aku lewat di depan ibu-ibu, juga para remaja putri, mereka menyindir dengan suara keras. “Jangan merebut suami orang dong!”

Aku dan Narto akhirnya menikah di Penghulu. Tak ada pesta, yang ada hanya pengajian di malam hari, mengundang para tetangga, namun hanya sedikit yang datang datang, padahal ibuku telah menyiapkan nasi lengkap dengan lauk pauknya dikemas dalam kardus. Aku cuma bisa meneteskan air mata.

Walau aku tak lagi punya muka di kampungku ini, aku tetap tinggal di kampung ini, di rumah kontrakan. Karena penghasilan Narto sebagai kuli tak menentu. Seringkali Narto tak membawa uang. Namun, aku tak pernah marah. Aku tetap berjualan di warung. Walau hasilnya kecil, cukuplah untuk makan sehari-hari. Tak lama kemudian, aku hamil. Aku sangat bahagia. Kerinduanku pada anak dari perkawinan sebelumnya terasa terbayar. Aku sangat menjaga kehamilanku ini. Aku rutin ke bidan kandungan di Puskesmas. Juga mengkonsumi makanan bergizi

Singkat kata aku akhirnya melahirkan. Begitu bayiku lahir suara tangisnya nyaring membahana. Alhamdulillah. “Selamat, Bu. Bayi ibu, laki-laki, sehat,” kata bidan. Kulihat wajah bidan dan ibuku nampak pucat. Tak nampak bahagia. Kenapa? karena kelelahan, kubiarkan diriku tertidur lelap. Begitu bangun tidur, aku mencari-cari bayi laki-lakiku. ‘Mana bayiku? Aku ingin menyusui bayiku,’ kataku.

Bidan dan ibuku nampak bingung, dan saling berpandangan. ‘Lagi tidur nyenyak, Bu. Ibu istirahat saja dulu. Nanti kalau bayinya nangis, saya akan bawa bayi Ibu ke sini,’ ujar bidan. Walau curiga dengan kejanggalan ini, aku berusaha tenang. Ketika terdengar tangis bayi, aku dengan antusias berharap, bayi itu dibawa ke tempatku. Ternyata tidak, tak berapa lama tangis bayi itu terhenti. “Lho, bayiku kenapa nggak dibawa kemari?” tanyaku.

“Kondisi Ibu masih belum fit. Ibu harus banyak istirahat. Bayi Ibu, kami beri susu dalam botol,” jelas bidan.
Aku berusaha mengerti. Walau terasa aneh bagiku. Aku memang lemas. Tapi, bukankah biasa, seorang ibu melahirkan, tubuhnya lunglai? Kerinduanku pada bayiku memuncak. Kenapa bidan itu tak mau memberikan bayiku? Ya Tuhan, ada apa dengan bayiku? Ah… aku tak ingin berpikir yang tidak-tidak. Akhirnya aku cuma bisa menangis. Saat itu, kerinduanku pada 3 anakku lainnya pun menjadi-jadi.

Malamnya, suamiku datang. Dia berusaha tersenyum padaku, dan mengecup dahiku. Lalu dia berkata, “Sabar ya, Bu. Kita sedang dicoba oleh Tuhan,” “Kenapa, Pak?’ tanyaku. “Bayi kita cacat. Dia tak punya tangan,” kata suamiku. Hah? Jadi itu penyebabnya, kenapa bidan dan ibuku merahasiakan kecacatan bayiku. Tubuhku terasa makin lemas. Saat itu juga, aku bangun dari tempat tidur. Bersama suamiku, kami ke kamar tempat bayiku tidur.

Kulihat bayiku nampak tampan, ia terbungkus hangat dalam kain bedong. Tak terlihat bayiku cacat. Aku bongkar kain bedong di bagian tangan. Ya Tuhan, bayiku tak memiliki tangan. Saat itu juga dunia seakan runtuh, jeritan pilu mengantarku dalam kegamangan menghadapi kenyataan ini. namun berikutnya aku mulai sadar dengan apa yang saat ini aku hadapi, aku hanya bisa pasrah. Mungkin ini balasan yang setimpal atas dosa-dosa yang selam ini aku perbuat.

SUMBER:perempuan.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar